Thursday, September 17, 2020

 

Profil Pelajar Pancasila: Bukan sekedar Bekerja

 

Pengantar

Usia yang diwakili oleh pelajar yang merupakan personifikasi gambaran realitas insan Pancasila adalah usia produktif angkatan kerja yang siap memasuki dunia atau pasar kerja. Dunia kerja membutuhkan bukan hanya pengetahuan, dan ketrampilan namun sikap dalam bekerja.

Tulisan ini memberikan gambaran betapa sikap dalam bekerja menjadi hal penting dibandingkan pengetahuan atau keterampilan kerja. Gambaran sikap dalam bekerja merupakan catatan pengamatan yang dilakukan penulis selama enam bulan masa pandemi terhadap lima responden wanita. Tenaga kerja wanita bidang rumah tangga dianggap kurang temperamen dan dapat menjaga sikap selama memasuki, menjalani dan mengakhiri masa kerja dalam bidang asisten rumah tangga (ART).

 

Bekerja

Pekerjaan selama masa pandemi yang berangsur sejak maret 2020 terus dirasakan membebani banyak dunia usaha baik modal besar hingga UMKM. Sehingga pasar kerja semakin mengkerut dan mengakibatkan banyak pengangguran. Untuk bertahan hidup, mereka yang telah putus hubungan kerja, maupun dirumahkan harus tetap menjaga pemasukan agar tanggungan keluarga tetap dapat melewati masa pandemi. Akan tetapi masa penantian begitu lama, sehingga pilihan menjadi pekerja informal seperti ART menjadi pilihan kelima responden ini.

Seluruh responden menjalani hari pertama bekerja sebagai ART tanpa kendala berarti seperti pengenal lingkungan kerja dan peralatan kerja di rumah. Banyak diantara responden mampu beradaptasi dan melakukan pekerjaan dengan baik seperti mencuci alat masak, menyapu dan mengepel. Ketiga jenis pekerjaan ini kerap menyamarkan kemampuan responden yang secara aktif penuh prakarsa dalam bekerja atau hanya sekedar menikmati waktu dani pagi hingga petang hari. Beberapa responden setelah minggu pertama dapat beranjak dari jebakan kerjaan cuci, sapu dan pel.

Pada minggu ketiga, semakin nampak responden yang mampu beradaptasi dalam interaksi sosial emosional dengan seluruh anggota keluarga, banyak yang tidak dapat melewati minggu ini dan memilih meninggalkan pekerjaan setelah melakukan komunikasi buruk baik lisan, tulisan masupun gesture.

Satu orang responden dapat bertahan hingga masa kerja empat bulan dengan menunjukkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap sehari dan bekerja. Sehingga memberikan imbalan penghargaan dari majikan dan seluruh anggota keluarga.

Namun demikian, penghargaan yang diberikan majikan dan keluarga justru menjadikan responden ini menjadi tidak tahu diri dengan menuntut hal yang tidak dipikirkan ketika di awal diterima bekerja.

 

Sikap kerja

Berdasarkan hasil pengamatan langsung terhadap lima responden selama enam bulan, diperoleh kenyataan bahwa untuk bekerja sebagai ART diperlukan hal berikut:

a.      Pengetahuan

Hal utama yang dibutuhkan adalah pengetahuan lingkungan dan kondisi tempat kerja

b.     Keterampilam

Dalam kategori ini termasuk pengetahuan dan penggunaan alat yang dijumpai maupun digunakan dalam bekerja

c.      Sikap kerja

Bekerja bukan hanya penguasan pengetahuan dan keterampialn namun juga sikap bekerja.

Catatan dari kelima responden, hanya satu yang menunjukkan sikap baik saat meninggalkan pekerjaan, sementara empat responden mencatatkan perilaku negatif.

 

Kesimpulan

Pelajar Pancasila yang akan memasuki dunia kerja bukan hanya dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan kerja namun juga sikap bekerja. Sikap ini pula yang berlaku di semua lingkungan tempat bekerja.

Sikap bekerja tidak bisa diajarkan di jalur formal di sekolah, maupun non formal di lingkungan kursus atau tempat Pelatihan, namun secara informal secara akumulasi didapat melalui interaksi di lingkungan informal baik di keluarga maupun di masyarakat.

Ketiga aspek pengetahuan, ketrampilan serta sikap bekerja merupakan hasil belajar seorang pelajar Pancasila yang berlangsung seumur hidup. Sehingga diperlukan kurikulum yang berlansgung seumur hidup dimana pencapaian dan perolehan dibedakan berdasarkan jalur Pendidikan yaitu: formal, nonformal dan informal.

Apabila seorang pelajar Pancasila hanya mampu belajar pengetahuan dan keterampilan bekerja melalui pendidikan formal di sekolah dan informal di lembaga pelatihan. Seyogyanya  jalur penidikan informal melengkapi dengan pengembangan sikap dan karakter yang dibutuhkan dalam bekerja.


Tuesday, March 28, 2017

Friday, December 18, 2015

Preparing Students for the 21st Century: International Strategies

To boost student skill competencies school can not stand alone and put out of school practices only merely as co-curricular activities. Obtain competencies instead of school time constrain, it is also develop in the human life time.Thus, it must be consider bring back people living reality into curricula that combine between school and out of school experience whether anyone is school student either pupil of living.
Preparing Students for the 21st Century: International Strategies

Tuesday, December 8, 2015

Model Pembelajaran Pendidikan Keorangtuaan (Parenting Education)

Tiga isu pokok berkenaan dengan model pembelajaran pendidikan keorangtuaan adalah: satuan pendidikan sebagai penyelenggara program,sasaran penerima manfaat program dan muatan program yang dikemas dalam kurikulum, bahan ajar dan media, serta penilaian hasil belajar. Ketiga isu ini akan memproyeksikan kedelapan standar nasional pendidikan sebagaimana dinyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam ketentuan umum, PP ini hanya menggarisbawahi dua jalur pendidikan yaitu formal dan nonformal. Sedangkan pendidikan informal disinggung dalam penjelasan umum berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik.

1.Satuan Pendidikan
Memperhatikan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengupas satuan pendidikan nonformal (pasal 26 ayat 4) terdiri dari lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim,serta satuan pendidikan yang sejenisnya. Maka pendidikan keorangtuaan dapat diselenggarakan oleh semua satuan pendidikan nonformal.
Alih-alih mengharapkan semua jenis satuan PNF menyelenggarakan program pendidikan keorangtuaan, sesungguhnya PKBM dalam perannya sebagai coordination centre for community development (Hardiyanto, 2014:13) dapat memberikan kontribusi lebih luas sebagai pangkalan dibanding sebagai satuan pendidikan. Dengan demikian, PKBM lebih memproyeksikan pada isu-isu seperti penetapan tujuan belajar, pemilihan peserta didik, pengembangan jejaring dan kemitraan, pelibatan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, penggalangan dana, metodologi pembelajaran, dan pengendalian dan pengelolaan (Forojalla, 1993:292-294) Sehingga,PKBM dapat dianalogikan menyerupai universitas yang memiliki berbagai fakultas-fakultas yakni satuan pendidikan yang melayani pembelajaran.

2.Penerima Manfaat
Memperhatikan kenyataan masyarakat di luar sekolah yang diproyeksikan menjadi peserta didik pendidikan keorangtuaan, maka karakteristik utama yang harus dipenuhi adalah sebagai orang tua. Kategori orang tua menurut tugas perkembangan (Kusmaryani,-) dimulai dari rentang usia 18 – 40 tahun (dewasa dini), 40 – 60 tahun (dewasa madya) dan lebih dari 60 tahun (dewasa lanjut). Tugas perkembangan orang tua ini memiliki ciri dan karakteristik khas mulai dari fisik, kognisi, emosi, sosial dan moral (Hiryanto). Dinamika kehidupan yang dihadapi dan kenyataan tugas perkembangan melahirkan konsekuensi bagi orang tua sebagai individu, bapak/ibu anak-anak mereka, termasuk sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan dengan pasangan hidup, dalam keluarga, di dunia kerja,kehidupan masyarakat selain mengalami perubahan fisik (lihat table 1).


3.Muatan Program
Dengan memperhatikan tugas perkembangan orang tua, apalagi sejak ‘gelombang ketiga’ paradigm meritocracy digantikan parentocracy (Brown,1997) maka tantangan pendidikan keorangtuaan menjadi sangat mendesak dilihat dari materi dan bahan ajar.

Referensi:
Brown, Phillips. (1997) The ‘Third Wave’: Education and the Ideology of Parentocracy dalam Educatioanal: Culture,Economy, Society. Oxford: New York.
Forojalla, S.B. (1993) Educational Planning for Development. ST. Martin’s Press: New York.
Hardiyanto, Edy (2014) Kontribusi PNF dalam Penerapan Undang-Undang Desa. Andragogia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini,Nonformal dan Informal. Volume 7 No. 1 – Juni 2014. PP-PAUDNI Regional II Semarang dan Pasca Sarjana PLS UNNES Semarang.
Hutteman, Roos, Marie Hennecke, Ulrich Orth, Anne K. Reitz, dan Jule Specht (2014) Developmental Tasks as a Framework to Study Personality Development in Adulthood and Old Age. European Association of Personality Psychology. Wiley Online Library. Available on: https://www.academia.edu/6603932/Developmental_tasks_as_a_framework_to_study_personality_development_in_adulthood_and_old_age (Wednesday, 04 February 2015:09.25)
Hiryanto (-) Masa Dewasa On-Line. Available on: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Drs.%20Hiryanto,%20M.Si./BAB%20IX%20masa%20dewasa.pdf (Wednesday, 04 February 2015:08.25)
Kusmaryani, Rosita Endang (-) Tugas-tugas Perkembangan. On-Line. Available on: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Rosita%20Endang%20Kusmaryani,%20M.Si./TUGAS%20%E2%80%93%20TUGAS%20%20PERKEMBANGAN.pdf (Wednesday, 04 February 2015:08.20)

Thursday, March 21, 2013

Lifelong Learning: Engaging for future betterment

Preface
This year is similar as previous event five or ten years ago. Even though, this year has special meaning to us to facilitate lifelong learning. We had some experiences in vain to conduct every single policy making, policy implementations either policy evaluation.

During last three years, we find something to think about deeply as Sobhi Tawil (2012) indication that global development continues, education program relevance is strongly needed, education future perspective is a must as a global strategic on education to anticipate emerging trends.

Accordingly, we are expected in the future to smooth the progress of learning in every circumstance of Indonesian people who live in different area whether villagers, either urban peoples. From the east region in Sabang, Sumatra island to west region in Papua, from the north to the south of the country.

Learning as we seem in the near future has many functions, namely aimed to equip youth competencies. Learning also has to be synergy into multiple settings and at any time along with people living in daily practices. Those means learning has to accomplish a local context and consider diversity of learners.

Undoubtedly, learning in the early child offers golden age can be cultivate as expected, but this is not enough for the whole everyone’s living when change is assault in every corner. Change is produced by new technologies and gadgets availability. This change can be obtained from the kitchen until the living room, from example wood fire stove change became gas stove even coal stove, those requires adaptive mechanism. School population (Siagian,1961:61) has their right to accomplish the mechanism through classroom during school time activities. On the other hand, out-of-school community who leave five year or more, their right can not be neglected to answer and perform the adaptive mechanism.

In many reason, school leaver as out-of-school community are rare willing to enroll as student of certain formal school, but they are still must learn something in surrounding. Thus, school curriculum just merely offers limited learning matter rather than ‘out-of-school’ curricula. All over the world, average year of schooling adults is 5 year old and 246 million children out of school are remain at primary level of education. In the Europe, average 30.2 student attitude dislike of school either 51.6 % feel boring. These reflections bring a clear message, to capture the future better, education has emerged in life long (see figure 1).



According to the figure above, anyone can accomplish school education around 30 years old to come to an end post graduate degree, but the most people less than 20 years old are leaving the school. The rest time of some living offers opportunity to learn, and also enhance their education through informatics (Tinsley in Sandov dan Stanchev, 1988: 81).

Basically our view sees education merely attached in the school environment. This is extremely right compelling to school community but differ than out-of-school community. In fact, the whole way of live attracts a broad view of education as show in the figure 2.



Then the future will welcome us not into the school system exclusively. Compulsory basic education even higher education just merely only a part of the education system. Practically, most of our resources are spent into school business which only working with a small portion of community.  
Keep on follow the pathway
Indonesia is one of the global communities. Land, people and government are interacting one another both internally within the country either externally among other countries, see figure 3 below.



Small on the map but far on the foot, Indonesia has more than 13.000 islands consist of 33 provinces, 497 municipals/regencies, 75.244 villages. Indonesia belong to 300 ethnic groups and 680 local dialects. Those are still not represent Indonesia as 4th populated country (245.6 millions) and 6th largest country (1,826 sq km) which rural population still in the most (54%, 114 million) while urban population is only 46% (106 million). This rural population places the country on 3rd among 193 countries in the world. Indonesia also has internet user more than 13 million (rank 21 among 190 country). Unfortunately, female unemployment still reach 12.9 % above male (8.1%). Indonesia is between Australia continent and Asia continent also between Indian ocean and Pacific ocean. Honestly, Indonesia has a warm friend neighbor within south Asian countries, that is our main concern to stay collide into ASEAN.

In 2010, Indonesia population pyramid is shown on the figure 4 below.



Our density is placed on 87 among 256 countries over the world which 118.32 per sq km equal to 7.69 sq km per 1,000 people.

In 2012, Indonesia illiteracy rate remain 4.43 % (6.7 million), 5 provinces have more than an half million illiterate, 33 regencies populated by more than 50 thousand illiterate. Regrettably, 2/3 illiterate is woman (4,46 million). Indonesia reading habit rank is 57 over 65 countries according to Program for International Student Assessment (PISA,2009), while face book and twitter user place on 4th and TV viewers percentage is increasing bit by bit.

Need to revitalize
Let we put school as exclusive part of other expert discussion and we turn on to the other awesome terrain. If we can imagine school community as fishpond which has similar milkfish then we now come to the ocean consist of many different fish namely jelly fish, dolphin, tuna, mackerel, even whale. These ocean fishes are representing to out of school community member, which determine a method of catching, and post harvest production.

Not only merely school that make learning happen, people are know better Community Learning Activity Center (CLAC) (Royani,2008:93) in Indonesia called as Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), we have 10.0025 office of PKBM in 2012. Thailand around 2005 has record 6680 CLC called SoonKarnLearnRoo ChumChon at sub district level in 76 provinces and Vietnam until January 2003 has 700 CLC’s (Hardiyanto, 2010).

CLC has been a part of Asian community history and their modern living that contribute learning mode. Around us, Cina has a first CLC in Gansu, Guang Xi, famously known as 亚运村文体中心 (Ya Yun Cun Wen Ti Zhong Xin = Community Center for Sport and literacy) (Hardiyanto, 2005:9). Bangladesh named CLC as Ganokendra. Papua New Guinea ran CLC as piloting in East Sipik province. Uzbekistan has six provinces run CLC (UNESCO Bangkok, 2003:3-8). Even in Japan CLC famously known as Kominkan (SED dan ACCU, 2008:16) which has function to make community live ease to find respective education to accomplish social, academic and culture that contributes toward health improvement, conserve daily cultures and develop social welfare.

From now on, our task is to keep follow on our history pathway to make learning has its time and space along with whether global development either rural development in small scale. CLC is one of any means that provide learning as possible rather than traditional school in rural community.

Thinking about rural development is the resultant of many interacting forces. Education must be one of them – education taking many forms and touching many people (Israel:1974:14). CLC find proper contribution as learning provider engage with human capital stock both in rural and urban area. Indonesia has majority rural population (54%) still deal with :
1. CLC Institutional Quality Improvement
2. Thematic CLC linked to local resource
3. Education for Community Empowerment in Papua
4. Self Propelling Growth Communities
5. ECCE Universal through parenting education (20,42%)
6. Community Library employ, 10 in every municipal / regency (2011, 36 %)
7. CLC and LRC synergy
8. CLC Registration Number (2011, 56 %)

Furthermore, we are happy to let you know recent condition on community education program in national level as table below:



In the future, we still fight to make learning is possible as answer to capture every new challenges. Our main challenging is shown in the table 4 below.

Basic Literacy programs current achieved 6,730,682 persons and targeted 133,320 persons additional in 2013, literacy for small enterprise 144,050 persons, literacy for entrepreneur 100 institutions (2012) proposed by 20 institutions (2013), community library, piloting 6,620 institutions (2012) and more 310 institutions (2013), woman Life skill 3,000 persons (2012) increase become 7,000 persons (2013), folklore, mother and children newspaper 280 institutions (2012) added by 68 institutions (2013), common learning spot & smart house 110 institutions (2012) added by 30 institutions (2013)(Ditbindikmas,2012)

Conclusion
Lastly, we are still learning to anticipate the near future in oru community, our region, our neighbor and our global community. There is still remain any school provide our learning need, just only our need encompass our curricula for future betterment.

Just imagine, those people in the rural area that willing to capture every moment in the future and require recent learning on certain matter. None perfect answer unless we provide learning time and space ease.

By this time, as new perspective of community education emerges learning opportunity is a real business of education, as national level policy, we suggest several recommendation beneath
 NFE Program and Personnel exchanges
 Learning aids and matter reciprocations
 NFE policy study and formulations
 National Institute for NFE





References

Ditbindikmas (2012) Capaian Kinerja 2012. Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal. Jakarta.
Hardiyanto, Edy (2005) Menurut Siapa?PKBM tidak ada di Cina?. Gita Setra: Himbauan Dari dan Untuk Lapangan. Edisi Juni 2005. Th XXIII Nomor 64.
------------ (2010). Evaluation of Model Implementation of Nonformal Education Village Management. Thesis of Development Studies. Bandung Institute of Technology.
Royani, (2008). The Role of Community Learning Activity Center (CLAC) in Establishing Network for Improving Human Development Index of Fishermen Community in Kandanghaur Sub-District, Indramayu Regency dalam Directorate of Non-formal Teacher and Education Personnel. The Greatest Achievement of Non-formal Teacher and Education Personnel. Directorate General of Quality Improvement for Teacher and Education Personnel – Ministry of National Education.
Sandov, Blagovest and Ivan Stanchev (Ed.) (1988) Children hildren in the Information Age: Opportunities for Creativity, Innovation and New Activities. Selected Papers from the Second International Conference, Sofia, Bulgaria, 19-23 May 1987. Oxford et.al.: Pergamon Press.
Siagian, S.P. (1981). Sistem Informasi untuk Pengambilan Keputusan. Cetakan VI. Jakarta: Gunung Agung.
Oyasu, Kiichi (2007) Expanding Learning and Time Space, Systematic Resource Development and Capacity Building Presentation, Hanoi – Vietnam September 2 – 5.
Tawil, Sobhi (2012) Beyond 2015: Perspectives for the Future of Education. UNESCO
UNESCO Bangkok. (2003). CLCs Community Learning Centres. Bangkok: APPEAL.

Wednesday, March 13, 2013

Makna Keaksaraan Bukan sekedar Pemberdayaan

Abstrak
Pendidikan keaksaraan lekat dengan sejarah awal kehadiran negara Indonesia. Di masa ini corak pendidikan lebih kental sebagai pendekatan untuk mengembangkan kemampuan dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar.

Masyarakat yang menjadi warga belajar pendidikan keaksaraan secara simultan berhasil mereduksi akibat tuna aksara, termasuk meningkatkan derajat bangsa dan negara di percaturan negara-negara berkembang yang gencar melaksanakan pembangunan. Derajat ini ditunjukkan melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), salah satu parameter yang digunakan adalah derajat buta aksara (=illiteracy rate). Upaya ini pun berdampak luas hingga menyentuh ‘gengsi’ pemerintah di berbagai tingkatan untuk menyerap anggaran, bahkan secara politis berpengaruh pada kelangsungan jabatan seorang pejabat di daerah.
Kedua masa di atas telah berlalu, begitu pula dengan IPM yang tidak lagi melirik buta aksara sebagai parameter pendidikan.

Tuntutan yang ada sekarang dan di masa depan adalah menempatakan keaksaraan sebagai kemampuan mencari informasi, secara kritis mengolah, menilai dan mengelolanya (dalam dunia digital) untuk kebermaknaan bagi dirinya dan berbagi dengan orang lain. Termasuk makna keaksaraan sebagai wujud dasar peningkatan kapasitas to revolution, reform, maintenance dan conservation pengetahuan yang telah dimiliki seseorang baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.

Peningkatan kapasitas keaksaraan ini dapat diarahkan pada kecakapan interpersonal seperti berkomunikasi dan mengutarakan pendapat, beragumentasi, mengenali dan mengelola perbedaan pendapat, menyimak dan menyimpulkan pendapatan umum. Kecakapan interpersonal yang telah dikuasai perlu didukung oleh kecakapan management seperti berinteraksi, mendelegasikan, menerima tanggung jawab, belajar dari pengalaman, saling mengambil hikmah dari masalah hidup satu sama lain, mengendalikan tindakan yang tidak diharapkan, mengembangkan tanggapan positif.


Pengantar
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), pendidikan keaksaraan berkenaan erat dengan pengetahuan dan kemampuan dasar budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat (Pasal 4 Ayat 5). Pendidikan ini pada masa kemerdekaan dikenal dengan ‘kursus ABC’, kemudian pada tahun 1964 dinamakan Pemberantasan Buta Huruf (PBH), tahun 1978 dikemas menjadi program kelompok belajar (Kejar) Paket A dan sesudah itu tahun 1995 menjadi Keaksaraan Fungsional (KF).

Pendidikan keaksaraan fungsional lebih dikenal sebagai pendekatan untuk mengembangkan kemampuan dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar (Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, 2002:1-3).

Pendidikan keaksaraan ini merupakan ‘gengsi’ pemerintah di berbagai tingkatan untuk menyerap anggaran, bahkan ternyata semakin memiliki muatan politis setelah derajat melek aksara menjadi salah satu parameter utama keberhasilan pembangunan daerah diukur dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia.

Tulisan ini hendak menawarkan pemikiran atas pendidikan keaksaraan berdasarkan gerak dinamika pembangunan. Kita pahami bersama Penbangunan itu sendiri merupakan instrumen yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tentu saja, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat ini tidak berkorelasi langsung dengan pencapaian derajat tertentu dalam kecakapan membaca, menulis dan menghitung. Melainkan lebih dari itu, tingkat kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat memberikan harapan pemanfaatan kemampuan keaksaraan sebagai kapasitas pribadi yang bisa dioptimalkan dalam menopang laju pembangunan.

Pendidikan Keaksaraan sebagai Pengembangan Kapasitas
Mewacanakan pembangunan bangsa dan negara yang ditandai oleh daya saing manusia tidak lepas dari sumbangan bidang pendidikan dan latihan yang memainkan peranan dalam perubahan sosial dan ekonomi.

Pendidikan dan latihan ini termasuk pendidikan keaksaraan diartikan sebagai bagian spectrum kegiatan Human Resource Development (OECD,1989:3). Sehingga makna keaksaraan menurut Thomas Friedman telah berkembang menjadi kemampuan mencari informasi, secara kritis mengolah, menilai dan mengelolanya (dalam dunia digital) untuk kebermaknaan bagi dirinya dan berbagi dengan orang lain. Sehingga dapat dibedakan keaksaraan dasar dan keaksaraan keluarga termasuk keaksaraan usaha mandiri (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, 2009a:29). Pendidikan keaksaraan ini dapat mewakili kebutuhan revolution, reform, maintenance dan conservation (Jones, 1988:47). Pemenuhan keempat kebutuhan pendidikan keaksaraan ini dapat mewakili upaya mewujudkan ciri individu berdaya:
1. Dapat mengandalkan diri untuk memulai suatu kegiatan dengan menggunakan potensi (kemampuan, keterampilan, hasrat, pengetahuan) dalam diri.
2. Tidak bergantung pada orang lain, lingkungan atau pihak lain untuk memberikan fasilitas bagi dirinya dalam melaksanakan kegiatannya.
3. Memiliki optimism dan motivasi internal dalam beraktivitas.
4. Memberikan inspirasi dan motivasi pada orang lain untuk berperilaku positif
5. Menghargai hak-hak orang lain dan memberikan peluang untuk berkembang bagi orang lain.
6. Tidak cemas pada kegagalan dan dapat melihat makna/hikmah dari setiap peristiwa, serta bertindak konsturktif dalam meyikapi kegagalan.
7. Selalu mengembangkan dirinya dan belajar sepanjang hayat.
8. Merasa mempunyai pilihan dalam hidupnya, dan dapat mengendalikan lingkungan, jadi bukan lingkungan yang mengendalikannya.
9. Memiliki alternative/solusi.
10. Berpikir positif dalam menjalani hidup.
11. Merasa nyaman dan bahagia dengan keberadaan dirinya.

Dengan melihat sasaran pendidikan keaksaraan pada akhir Agustus 2008 yang mencapai 10,16 juta orang (6,22 persen). Angka ini menunjukkan jumlah penduduk buta huruf yang ternyata 65 persen adalah wanita (Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, 2009b:16). Sedangkan menurut BPS pada tahun 2009 proporsi angka melek huruf penduduk berumur 10 tahun ke atas mencapai 93,05 persen.

Besaran jumlah sasaran pendidikan keaksaraan versi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal tahun 2008 tidak menetapkan umur, sementara BPS tahun 2009 menetapkan proporsi angkat butu huruf di atas usia 10 tahun mencapai 6,95 persen. Andaikata jumlah ini adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas, maka kalkulasi sederhana dengan memperhatikan laju pengurangan penduduk per tahun secara normal sebesar 10 persen. Jumlah sasaran buta aksara ini akan mencapai titik nol pada sepuluh tahun mendatang.

Apabila hendak mencapai tujuan MDG pada tahun 2015, strategi pendidikan keaksaraan yang tepat adalah dengan melipat gandakan proporsi pencapaian program menjadi 20 persen per tahun. Hal ini bila diasumsikan semua bagian yang berkorelasi terhadap pengurangan penduduk buta aksara berlangsung normal. Untuk itu penyelenggaraan keaksaraan Paket A dengan menekankan revolusi dan reformasi cara belajar untuk mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) dapat ditempuh sebagai program unggulan. Sedangkan keaksaraan fungsional menjadi program andalan dalam upaya pemeliharaan dan konservasi kecakapan keaksaraan sesuai bidang kehidupan dan pekerjaan peserta didik.

Kesimpulan
Sebagai sasaran antara pembangunan sumber daya manusia, maka pengembangan program keaksaraan menempatkan prioritas pada pencapaian sasaran MDG’s tahun 2015. Pencapaian ini tentu dengan tidak melupakan sasaran jangka panjang sebagai bagian peningkatan kapasitas perseorangan warga masyarakat.

Peningkatan kapasitas keaksaraan ini dapat diarahkan pada kecakapan interpersonal seperti berkomunikasi dan mengutarakan pendapat, beragumentasi, mengenali dan mengelola perbedaan pendapat, menyimak dan menyimpulkan pendapatan umum. Kecakapan interpersonal yang telah dikuasai perlu didukung oleh kecakapan management seperti berinteraksi, mendelegasikan, menerima tanggung jawab, belajar dari pengalaman, saling mengambil hikmah dari masalah hidup satu sama lain, mengendalikan tindakan yang tidak diharapkan, mengembangkan tanggapan positif.

Sehingga rancang bangun pendidikan keaksaraan yang memiliki dimensi pemberdayaan menawarkan nilai dan harapan baru, pencapaian tujuan berdasarkan visi, mengelola kemitraan di sekitar, serta secara kreatif menciptakan peluang untuk berprestasi.

Referensi
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. (2002) Keaksaraan Fungsional: Buku Pegangan Pelatihan Tutor Keaksaraan Fungsional. Bandung: Proyek Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah.

Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (2009a). Mereka diarahkan pada Pendidikan Kesetaraan Integrasi Keterampilan. Warta PNFI: Agenda. Volume 77. Edisi X Tahun 2009.

------------ (2009b). Pemerintah Optimis Turunkan Buta Aksara. Warta PNFI: Sajian Utama. Volume 76. Edisi IX Tahun 2009.

Direktorat Pendidikan Masyarakat. (2009). Berkualitas Karena Aksara dalam Utama - Aksara: Media Komunitas Pendidikan Keaksaraan NO. 16. THN IV. Edisi Januari – Februari 2009.

OECD. (1989). Education and The Economy in Changing Society. Report on Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) on Intergovernmental Conference, Paris, March 16-18, 1988. Paris: OECD

Jones, David. (1988). Adult Education and Cultural Development. New York dan London: Routledge.

Disampaikan pada Seminar International Pendidikan Non Formal, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah – Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, tanggal 29 November 2010.

Kontak Email: e.hardiyanto@yahoo.co.id.